Gia, gadis remaja 17 tahun yang baru saja lulus SMA seperti sudah tidak ada lagi semangat hidup sejak ibunya meninggal beberapa minggu yang lalu. Kecelakaan mobil beruntun di jalan yang baru saja dibasahi rintik hujan pertama di tengah tahun  harus menyebabkan Gia kehilangan orang yang sangat amat ia sayangi. Hari itu harusnya menjadi hari terindah dalam perubahan fase hidupnya, hari dimana seharusnya ia akan menginjakkan kaki di negeri Paman Sam. Sekolah bertaraf Internasional dengan predikat A tempatnya belajar 2 tahun terakhir memudahkan Gia untuk mendaftar di Universitas terkemuka disana. Mimpi yang sudah ia tanam dari kecil, menjadi seorang dokter yang bisa ambil andil dalam WHO di PBB. Sejak hari yang tidak akan pernah ia mimpikan itu, Gia gadis cantik, rendah hati, dan periang berubah drastis. Seperti petir yang terjadi begitu saja di tengah siang yang sangat panas, hal yang tak pernah terfikirkan sebelumnya.
Sebulan sudah peristiwa naas itu terjadi, kini ia tinggal bersama ayah yang sedari kecil sudah tidak tinggal bersama dengan Gia, hidup Gia semakin tanpa arah, ia tidak respect sama sekali dengan ayah dan terlebih lagi Ibu dan adik tirinya Tere. Setiap hari yang dikerjakannya hanya diam di dalam kamar, seperti seorang yang sudah memang tak ingin lagi hidup lebih lama. Ayah Gia tak tinggal diam, ia membujuk Gia untuk melanjutkan studinya di Kedokteran. Setelah membujuk untuk kesekian kali akhirnya Gia mau, tapi ia tidak ingin ke luar negeri karena dalam hatinya ia ingin selalu dekat dengan ibunya yang dimakamkan di Indonesia.
Semua tidak berubah, sudah 1 tahun Gia kuliah di FK, IPnya jauh dari yang dibayangkan. Bukan ia yang sebenarnya, karena Gia seorang anak yang cerdas dan mampu bersaing, tidak hanya untuk kalangan lokal, di ajang Internasional pun ia bisa. Semua karena ia belum rela kehilangan orang yang sangat ia sayangi, penyemangat hidupnya, yang selalu ada saat ia butuhkan. Tahun ini Gia mengambil cuti, ia berencana rehat sejenak dari apa yang selama ini ia lakukan, sesuatu yang sebenarnya ia impikan.
Ia mengunjungi beberapa tempat untuk bisa menyegarkan kembali fikirannya. Saat duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menyentuh helaian rambutnya, seorang anak perempuan berusia 12 tahun berjalan mendekatinya, anak itu sangat cantik, matanya sayu namun sayang ia hanya punya satu tangan. Anak itu menawarkan figura dari kerang pantai pada Gia. Gia yang sebenarnya sangat punya jiwa sosial tinggi seketika merasa terharu melihat anak sekecil itu sudah susah payah mencari uang, terlebih dengan keterbatasan yang dimilikinya. Ketika Gia bertanya pada anak itu dimana orang tuanya anak itu terdiam lalu berkata “saya tidak punya orang tua kak, mereka sudah pergi disapu ombak pantai di Aceh waktu saya masih kecil. Lalu saya dibawa ke panti kak”. Gia tertegun, “kamu tidak sedih?”, anak itu menjawab “saya sangat sayang pada mereka tapi kata pak ustadz yang membawa saya untuk tinggal disini bilang Allah lebih sayang pada mereka”. Gia seketika merasa malu, dalam hati ia merasa kecil di depan anak yang seusianya telah hidup sebatang kara. Ia memeluk anak itu sambil meneteskan air mata dan berkata dalam hati “Mom.. really I love you but maybe this is for the best, I promise will make you and Daddy proud..”